Minggu, 20 Juli 2014

Cerita di perjalanan.

"Mungkin mulai hari ini kita mulai jalan sendiri, tanpa peduli satu sama lain."
Sejak saat itu, maka aku dan dia berjalan pada jalur yang berbeda. Tanpa saling melirik apalagi saling berpegang tangan seperti dahulu. Dia tak pernah melihat aku yang sering kali mudah lelah dalam melewati jalan yang dia pilihkan untukku. Sering kali aku terduduk, terkadang menoleh ke arahnya. Seharusnya aku belajar dari nya, bagaimana caranya meninggalkan. Meninggalkan kenangan yang terus menarikku untuk menoleh ke belakang. Aku menangis, tapi jangan anggap aku lemah. Aku merindu, walau tak tahu padanya atau sang kenangan.

...

Kemarin aku melihatnya, di sebuah bangku taman di sudut kampus bersama dengan yang lain. Dia tampak tak terlau bahagia. Tapi dia tampak memandang wanita itu, sedangkan kehadiranku hanya seolah angin yang tak terdengar. Sakitnya datang dengan perlahan, tanpa tahu kapan akan hilang.

...

Aku tetap berjalan maju, walaupun begitu lambat dan terseok. Walaupun penuh luka, namun aku telah berjalan sejauh empat langkah. Maka aku harus berbangga diri dengan pencapaian ini. Meski garis awal ini masih terlihat jelas dan bahkan bayang garis akhir belum terlihat. Tapi hari ini aku begitu lelah, aku menangis lagi, aku merindu lagi. Aku kehilangan cara untuk berjalan maju, sesungguhnya aku ingin berbalik mencari jalan ke arahmu. Tapi garis awal itu telah hilang, maka aku tak punya pilihan selain maju.

...

"Perlu gue bantu?"
Aku menoleh ke belakang, sembari kedua tangan masih sibuk menjaga map-map penting ini agar tidak jatuh berserakkan. Seorang pria dengan mata kecil berhias kaca mata, masih tersenyum sambil nengulurkan tangannya. Beberapa detik ku habiskan hanya untuk meyakinkan siapa dirinya. Aku mengenalnya. Seorang penulis muda yang aku kagumi sejak bangku kuliah.
"Gue Albi"
Aku mulai tersadar dan berdiri sambil masih menjaga map-map liar ini yang menbuatku tak bisa menggapai tangannya.
"It's okay."
Aku hanya sempat menyebutkan namaku dengan pelan dan gugup. Kemudian tanpa aba-aba dia mengambil map-map liar di tanganku, kemudian mempersilahkanku untuk mulai berjalan. Aku masih terdiam, berjalan lurus ke arah meja kerjaku. Berjalan beriringan dengannya tanpa bicara sepatah katapun, membuatku semakin gugup. Setiap aku melirik ke arahnya, dia hanya tersenyum.

...

Langkah kelima, keenam, ketujuh, sedikit demi sedikit menjadi lebih mudah. Aku mulai melihat banyak hal, dan semakin sedikit menoleh ke belakang. Jalan yang tadinya hanya dipenuhi pasir dan kerikil, kini mulai menjurus ke jalan mulus. Bayang garis akhir jalan ini masih belum terlihat, memang masih begitu jauh. Tapi paling tidak aku mulai melihat yang lain, pejalan lain yang memilih jalan yang sama denganku, jalan bagi orang yang memilih menjadi tidak percaya pada perasaan yang mereka sebut cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar